Sabtu, 13 September 2014

Tentang PMS

Beberapa waktu lalu, aku membaca suatu thread yang isinya menyatakan bahwa; “sikap seorang wanita saat PMS mencerminkan kepribadian wanita itu”. Saat itu juga aku menyatakan tidak setuju. Ketidaksetujuanku bukan karena aku seorang wanita, tetapi karena merasa pernyataan itu terlalu kejam. Kenapa kejam? Karena sebagian besar wanita yang mengalami PMS, biasanya berubah jadi garang, ganas, galak, dan kawan2nya lah (contohnya si penulis ini :p). 1000:1 orang yang lagi PMS bisa bersikap baik dan lembut. Kalau benar kepribadian wanita tercermin dari sikapnya saat PMS, berarti wanita baik dan lemah lembut di dunia ini sangat sedikit? wah..wah..wah... Sebagai wanita baik dan lemah lembut, aku ga terima dengan pernyataan itu!!! *sambil gebrak meja* #eh

PMS yang kepanjangannya Pre Menstrual Syndrome, adalah ... (emhhh, untuk lebih jelasnya silahkan buka2 gudang wiki aja ya. ato tanya mbah gugel juga boleh. lagi rada males nulis yg ilmiah2 gitu.) intinya adalah saat dimana hormon wanita menjadi kacau balau ketika menjelang/saat/setelah menstruasi. Syndome ini merupakan momok yang mengerikan bagi orang yang berada di dekat wanita yang sedang mengalami PMS, karena emosi wanita itu menjadi labil dan rapuh serapuh snack nori. Tidak ada yang bisa memprediksi apa yg membuat emosi dan kapan emosi tersebut akan meledak. Dari senyum bahagia bisa saja tiba-tiba menjadi ledakan amarah hanya dalam hitungan menit. Kurang lebih begitulah PMS.

Aku yang juga termasuk kategori wanita, yang pastinya juga pernah mengalami syndrome itu pun selalu merasa bahwa PMS merupakan suatu momok yang mengerikan. Jujur, saat mengalami PMS, aku merasa tidak mampu mengendalikan emosi dan mood-ku. Bagiku, ketidakmampuan ini menjadi siksaan tersendiri. Aku menjadi super sensitif, mudah marah dan sulit berpikir dengan jernih. Aku selalu merasa hanya punya 2 pilihan. Yang pertama membiarkan emosi itu keluar dan meledak, tapi bisa menyakiti orang lain. Atau yang kedua, aku berusaha meyakinkan diriku bahwa emosi itu adalah efek PMS dan berjuang keras untuk meredamnya. Tapi efeknya emosiku akan meledak kedalam dan aku akan menangis sepanjang waktu tanpa sebab yang jelas. Setidaknya sejauh ini hanya ada pilihan itu yang bisa kulakukan saat PMS.

Dengan apa yang aku alami dan aku rasakan tentang PMS, aku merasa sangat tidak adil jika kepribadian seorang wanita dinilai dari sikapnya saat PMS. Bagiku, saat PMS adalah saat yang paling sulit untuk berpikir jernih. Segala emosi dan pikiran dikacaukan oleh hormon yang konon katanya lagi ga stabil. Ditambah lagi hampir seluruh badan terasa sakit/ngilu/pegel menjelang/saat hari-hari berdarah. Di saat seperti itu sangat sulit untuk bersikap manis. Daripada sikap saat PMS dinilai sebagai kepribadian, akan lebih tepat kalau dibilang, “kalau ingin melihat sikap terburuk wanita, lihatlah sikapnya saat PMS.” Bagiku, ini lebih fair.

Ada berbagai macam artikel, yang mengungkapkan bahwa PMS yang berupa emosi meledak-ledak sebenarnya bisa dihindari. Salah satunya dengan menciptakan suasana nyaman bagi wanita tsb. Aku tidak membantah, karena aku juga pernah merasakan bisa melalui PMS dengan tenang, bahagia, damai sejahtera. Tapi saat-saat itu adalah saat yang langka dan jarang terjadi. Karena untuk mewujudkan saat-saat seperti itu memerlukan kondisi, situasi dan toleransi yang terkombinasi dengan sempurna. Sayangnya ya itu, jarang banget bisa terjadi kayak gitu.

Mengakui sedang mengalami PMS adalah hal yang tidak mudah. Ego yang mendadak jadi tinggi, membuat gengsi untuk mengakui kalau sedang PMS. Karena biasanya orang PMS itu maunya menang sendiri dan merasa dirinya paling benar. Kalau disalahkan, pasti emosinya meledak. Apalagi kalau dibilangin "kamu tu lg PMS..." wah, bisa makin meledak-ledak rasanya. Aku pribadi mengakui, di saat seperti itu aku memang harus dimengerti. Dalam artian, jangan terlalu memikirkan apa yang kukatakan, jangan sakit hati atas kata-kata penuh amarah, pokoknya tiap omongan diiya-iyain aja lah. Udah diiya-iyain pun kadang masih saja tetep emosi. Apalagi kalau pake dibantah. Bisa perang dunia deh.hehehe... Jadi intinya tiap kata2 dan sikap tak mengenakkan lebih baik dimengerti saja dan jangan dimasukkan ke dalam hati. Saat hari-hari sudah normal, biasanya aku malu sendiri atas sikap-sikap konyolku. Tapi beruntung aku punya pacar yang bisa mengerti keadaanku, terutama di saat seperti itu. Jadi semua menjadi terasa lebih ringan.

Bagi sebagian orang, membicarakan tentang siklus bulanan pada laki-laki adalah hal yang tabu. Tapi bagiku tidak sama sekali. Bahkan aku merasa harus membicarakan hal itu dengan pacarku. Aku selalu katakan apa yang kurasakan di badanku dan perasaanku di saat seperti itu. Tidak perlu malu untuk membicarakannya. Bukan karena masalah tabu atau tidak, tapi karena hal itu sangat berkaitan dengan emosi, yang akan berujung pada perasaan. Dengan pengetahuan yang baik tentang keadaan wanita, lelaki akan menjadi lebih mudah dalam memahaminya. Dalam hal PMS, kalau pacar kita mengetahui siklus bulanan kita, mereka akan bisa memperkirakan kapan syndrome itu akan melanda. Jadi mereka juga bisa siap-siap untuk mengerti jika sewaktu-waktu emosi kita akan meledak. Syukur2 bisa membantu kita menangkal hal-hal buruk.hehe... Dan aku bersyukur pacarku selalu concern dengan hal seperti ini.

---

PMS tidak selalu akan dilalui dengan penuh emosi dan amarah. Aku pernah beberapa kali merasa sangat bahagia dalam saat-saat itu. Sangat-sangat bahagia sampai ke ubun-ubun. Jadi memang, PMS merupakan efek dari ketidakseimbangan hormon,entah apa yang mempengaruhinya. Tak selamanya PMS itu buruk.