Aloha 2015!
Nyaris 3 bulan aku tidak menjamah halaman ini. Terlalu banyak hal yang terjadi. Banyak pelajaran yang aku alami. Banyak pengalaman yang kudapat. Juga banyak kesenangan dan ketenangan yang kuterima. So far, tahun ini memiliki permulaan yang penuh syukur bagiku.
Aku fix stay di Jogja. Hal ini merupakan satu rasa syukur terbesarku di awal tahun ini. Di akhir tahun 2014, aku mengalami suatu proses panjang, melelahkan, dan membuatku khawatir dengan berbagai hal. Salah satunya adalah kemungkinan bahwa aku akan ke luar kota (lagi). Sepertinya semesta merasakan kegelisahanku tentang hal ini. Singkat cerita, aku mendapat pekerjaan di Jogja dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari rumah, suasana kerja yang bebas (terutama bebas dalam berpakaian. ini hal yg sangat penting karena aku tidak nyaman dengan gaya formal).
Saat ini sudah dua bulan aku bekerja di kota tercinta. Dari pengalamanku sebelumnya, aku merasakan beberapa perbedaan, terutama dalam hal tekanan. Di Jakarta, pekerjaanku memang tak seberat yang sekarang. Dulu aku bekerja di kantor pusat, yang hanya tinggal minta2 data dari cabang. Aku memiliki pimpinan yang perhatian, dan ada satu tim konsultan yang siap sedia membantu kesulitanku. Sedangkan sekarang, bisa dibilang aku bekerja di kantor cabang. Di saat-saat awal aku bekerja, aku dituntut untuk belajar sendiri. Nyaris tidak ada yang bisa kutanyai. Pun aku bertanya, jawaban yang kudapat hanyalah "lihat aja di sini/situ." Ya, hampir tidak ada yang bisa kutanyai! Dalam hal pekerjaan, Jakarta lebih mudah dijalani, dan Jogja lebih stressful! Dalam hal hidup sehari-hari, Jakarta memberiku tekanan yang berat (kurang aman, bising, biaya hidup yg tinggi). Sedangkan di Jogja, hidup terasa selow tiap hari, karena keramahan dan kenyamanan yang ditawarkannya.
Tapi, badanku memiliki respon yang berbanding terbalik. Dua bulan pertama tinggal di Jakarta, aku harus masuk UGD karena asam lambungku tinggi (ini pertama kalinya aku punya masalah dengan maag!), dan membuat ku muntah2 lalu kekurangan cairan. Diduga karena aku terlalu stress. Polysilane pun sudah jadi “permen” yang wajib ada di tasku. Sedangkan di Jogja, sebulan pertama masuk kerja aku sudah mengalami yang namanya lembur, audit external&internal yg dilakukan bersamaan (the cruelest thing about auditing!), juga "otodidak" tentang semua perkerjaanku. Untuk mengingatnya saja sudah membuat perutku mulas. Tapi, badanku malah justru sehat walafiat! Masuk angin pun tak pernah ku rasakan. Polysilane? Sudah lupa tuh... Hebatnya Jogja, yang mampu meredam segala tekanan yang kualami. One point for Jogja.
My body belong to this city. Sepertinya badanku ini memang sudah cucok banget untuk tinggal di Jogja. Mungkin karena inilah rumahku. Dulu di Jakarta aku tidak bisa sembarangan makan. Aku harus makan sehat. Aku harus benar-benar memperhatikan apa yang aku makan, harus seimbang asupan gizinya. Bahkan untuk makan mi instan pun, aku sampai menjadwalkannya. Tidak boleh makan lebih dari 1 porsi mi instan dalam seminggu. Dan aku ga bisa sembarangan makan pedas, karena asam lambungku bisa ngamuk-ngamuk. Hal itu kulakukan agar aku tidak sakit, secara di Jakarta aku jadi gampang sakit. Tapi di Jogja, apapun yang kumakan tidak pernah mempengaruhi kesehatanku. Badanku bisa menerima makanan apapun. Sehat dan bahagia di Jogja. One more point for Jogja.
Kebutuhan hiburan di Jakarta dan Jogja juga sangat berbeda. Di Jakarta, hal yang bisa menghiburku adalah nonton di bioskop, jalan-jalan di mall, liburan ke Bandung. Kalau mulai bosan, aku selalu nonton film apapun di bioskop. Kalo stress dan butuh "udara segar", satu-satunya tempat yang bisa kujangkau adalah Mall. Jika aku benar-benar butuh udara segar, aku selalu menghabiskan weekend di Bandung. Hiburanku mahal bener cuuyyy! Tapi di Jogja, keliling2 naik motor, dan nongkrong di pinggir kali (Jatiningsih) aja bisa membuatku sangat terhibur. Nonton di bioskop juga tak lagi jadi pilihanku menghabiskan waktu. Masih banyak hal yang mudah dilakukan untuk menikmati waktu-waktuku. So easy, co cozy! Still one point for Jogja.
Sarana transportasi juga menjadi pertimbangan penting untuk menentukan tempat nyaman untuk ditinggali. Di Jakarta, kemana-mana aku harus naik angkot/transjakarta yang berjubel dan antrian yg panjang. Kadang untuk beberapa tujuan, aku hanya bisa naik taksi. Kalau di jogja, semua tempat bisa dijangkau dengan motor. Murah dan praktis. Sebenernya bisa saja aku minta dikirimi motor untuk sarana transportasiku di Jakarta. Tapi, bagiku berkendara di Jakarta itu terlalu menyeramkan. Keamanan dan kenyamanan tetep nambah poinnya Jogja.
Eehmm, semua poin berpihak pada Jogja. Tapi bukan berarti Jakarta tidak memiliki good point. Jakarta menuntutku untuk banyak bergerak. Aku banyak jalan kaki di sana. Jalan kaki jadi kegiatan yang mudah dan biasa dilakukan. Tapi di Jogja, boro-boro bepergian dengan jalan kaki. Cuma pergi ke warung dekat rumah saja aku selalu naik motor. Alhasil sekarang aku jadi ga kuat lagi buat jalan jauh. Gampang ngos-ngosan, ga seperti dulu.
Di Jakarta banyak makanan kemasan enak yang mudah dicari. Juga bisa dengan mudah menemukan tempat makan yang menyediakan menu babi. Semacam pork heaven lah. Di Jogja, kita perlu ekstra upaya untuk mendapatkannya.
Di Jakarta kita tak perlu terlalu ramah/banyak basa-basi. Aku merasa bisa cuek dan bebas melakukan apapun di Jakarta. Not really a good point sih. Tapi "cuek" bisa memberikan suatu kenyamanan tersendiri buatku.
Mau ngulas apa lagi ya? Pikiranku udah mulai stuck.
Pada intinya, aku sangat menikmati hidupku di Jogja. Semua yang pernah kualami, hal buruk dan hal baik, semua aku syukuri, karena hal-hal itulah yang membawaku menjadi seperti ini. Membuatku bisa lebih banyak bersyukur.
Aku mengalami kesedihan. Aku juga mengalami kebahagiaan. Aku sangat bersyukur untuk semua yang telah kualami. Tanpa pengalaman-pengalaman itu, aku tidak akan pernah bisa merasakan hal seperti ini, perasaan penuh syukur.
"Bersedihlah seperlunya, berbahagialah secukupnya, dan bersyukurlah sebanyak-banyaknya"
Malam ini, aku bersyukur karena aku tinggal di rumah, tinggal di Jogja!