Senin, 25 April 2016

Memaknai Hidup

Di suatu minggu pagi, aku dan suami berdua mencari sarapan di sebuah angkringan di area Stasiun Lempuyangan. Angkringan ini adalah tempat nongkrong favorit suamiku ketika masih lajang. Dan kini menjadi tempat favorit kami untuk sarapan, atau sekedar ngemil. Kami sering ke tempat ini, meskipun hanya sekedar mampir sarapan sebelum ngantor.Jika punya banyak waktu, ya kami nongkrong sedikit lebih lama untuk menikmati suasana.

Karena hari itu hari Minggu, dan kami tidak ada rencana untuk bepergian, kami meluangkan waktu untuk nongkrong di angkringan yg menjual donat kentang favorit kami. Pagi itu, seperti biasa,di angkringan itu ada beberapa tukang becak, tukang ojek, sopir taksi, dan ada beberapa calon penumpang kereta yang sedang menunggu jadwal keberangkatan kereta -atau mungkin juga nunggu jemputan-. Aku dan suami memilih tempat duduk di dalam angkringan, menghadap ke jalan. Kami duduk di samping tempat pak penjual membuat segala macam minuman.

Sambil menikmati teh hangat, donat kentang, dan makanan kecil khas angkringan, kami bisa melihat orang yang berlalu lalang di area stasiun. Kami juga sesekali tertawa kecil mendengar candaan bapak-bapak tukang becak yang sedang sarapan di sana. Suasana di situ begitu sederhana dan apa adanya. Tawa menggelegar ketika salah satu dari pembeli mengomentari hal aneh dengan celetukan khas yang sedang jadi bahan pembicaraan. Pagi itu terasa menyenangkan untuk bisa mendengar obrolan orang-orang di sana. Obrolan yang tidak memerlukan pengetahuan atau pendidikan tinggi untuk dapat diikuti.

Ketika aku selesai makan capcay 'ndeso' ku, datanglah seorang ibu penjual ketan. Ia berkeliling dengan sepeda tuanya, sambil membawa keranjang kecil yang berisi ketan dan jajanan yang dia jual. Setelah menyandarkan sepedanya di sebuah becak, dia duduk sambil memesan es jeruk, dan mengambil beberapa cemilan di angkringan. Kedatangan ibu itu membuat suasana angkringan menjadi lebih ramai. Ibu itu bercerita tentang kehidupannya yang tidaklah mudah. Suaminya sudah meninggal. Di usianya yang sudah lebih dari setengah abad, dia masih berjuang mencari sesuap nasi, menjual jajanan dengan mengayuh sepeda tuanya. Namun sepanjang dia bercerita, dia tidak pernah mengeluh. Aku melihat, dia selalu mensyukuri apa yang ada di hidupnya.

Beberapa orang yang sedang di area angkringan itu kemudian mengambil beberapa dagangan ibu itu, dan memakannya. Termasuk pak penjual angkringan yang ingin "nglarisi" dagangan ibu itu. Saat itu, ada seorang bapak tukang becak yang rambutnya sudah memutih, yang baru saja selesai makan. Dia berbicara pada pak penjual angkringan, kalau dia mau ngebon dulu untuk apa yang dia makan. Pak penjual angkringan dengan ringannya menjawab "santai saja", sambil hendak mengeluarkan kertas catatan.Dari sudut lain, seorang bapak sopir taksi menyahut, "udah, makan aja, aku yang bayar". Senyum lega memancar dari pak tukang becak, dan pak penjual angkringan urung mengambil kertas catatannya.

Tibalah saatnya ibu itu untuk pergi dan melanjutkan perjalanan. Ibu itu bertanya berapa total harga makanan dan minumannya, dan pak angkringan menjawab "sudah lah, ditukar sama ketanmu tadi saja" (Aku yakin, makanan yang dimakan ibu itu lebih mahal daripada ketan yang diambil oleh pak angkringan). Namun ibu itu tetap membayar uang seadanya, lembaran lusuh yang mungkin adalah hasil jualannya hari itu. Tidak ada perhitungan diantara mereka. Uang itu diambil dan disimpan oleh pak angkringan.

---

Kejadian-kejadian yang kulihat pagi itu sungguh membuatku kagum. Banyak sekali kebaikan dan ketulusan yang kulihat. Mereka, dengan segala keterbatasannya, saling membantu dan berbagi kepada orang lain. Tidak ada perhitungan diantara mereka. Uang bukanlah segalanya, meskipun dalam kegiatan sehari-hari, uang adalah apa yang mereka cari.
Beban hidup tidak menjadi alasan untuk mereka bersedih hati. Mereka masih bisa tertawa, dan berbagi dalam keterbatasan. Mereka masih sehat dalam usia yang tidak lagi muda. Tidak seperti orang kebanyakan, yang bahkan di usia 40an sudah sakit darah tinggi karena terlalu stress dengan beban hidup.

Mereka bersosialisasi tanpa memandang pendidikan atau kemampuan satu sama lain. Tidak ada satu pun dari mereka yang berusaha menunjukkan kepandaian mereka. Obrolan pun berlangsung dengan begitu cair, tanpa perlu berpikir. Mungkin itulah yang membuat suasanya begitu nyaman, karena tidak ada yang berusaha untuk terlihat 'lebih'.

Suasana seperti inilah yang aku dan suamiku nikmati. Melihat semangat, ketulusan dan rasa syukur yang terpancar dari mereka, dalam segala keterbatasannya. Hal-hal seperti ini yang selalu mengingatkan kami untuk selalu bersyukur, dan untuk terus berbagi. Belajar tentang kehidupan dari orang-orang tangguh ini. Memaknai hidup dengan penuh rasa syukur, dan selalu berbagi.

Rabu, 06 April 2016

New Life

Empat bulan sejak posting tulisan terakhir. Waktu yang cukup lama. Bukannya terlalu sibuk dengan pekerjaan atau kegiatan lain, tapi aku menghabiskan waktuku dengan menikmati hidup. Ya, menikmati hidup dengan serangkaian rutinitas dan kegiatan, yang membuatku enggan meluangkan waktuku untuk sekedar menulis.hehe..
Berhubung saat ini lagi 'idle time', aku jadi inget kalo punya halaman blog yang sudah lama tidak terjamah. Here I am, now, writing for my first story in 2016 ;)

Empat bulan berlalu, dan sudah buanyak sekali hal yang terjadi dalam kurun waktu itu. Dari sekian banyak hal itu, hal yang paling penting dan bersejarah adalah status yang udah berubah: I'm married :)
Pertengahan bulan Januari 2016 lalu, aku dan Dia saling mengucap janji di depan Pator dan Pendeta. Dan sejak itu, kami udah sah menjadi suami istri, menurut Gereja dan negara. Status yang baru di tahun baru.hehe

Sebenarnya sejak proses persiapan pernikahan, kami udah berniat untuk share segala macam tata cara dan persyaratan pernikahan kami, yang dilakukan secara oikumene/okumenis. Pemikiran awalnya adalah karena kami sendiri pernah mengalami kebingungan saat mau mulai mempersiapkan segala persyaratannya. Dari puluhan blog yang menceritakan tentang pernikahan tersebut, kami belum menemukan yang benar-benar membantu (dan dalam prakteknya akhirnya kami tahu apa penyebabnya). Dan sekarang pun kami bingung bagaimana mau menceritakan tentang proses itu. Dari lubuk hati, aku masih pengen berbagi tentang pernikahan beda gereja yang kami jalani. Tapi sepertinya aku perlu waktu yang sangat senggang untuk melakukannya, karena jangan sampai tulisan itu malah justru membingungkan orang lain. Tapi akan kucoba, semoga ga butuh waktu lama. Kalau ada yang ingin tanya2, boleh kok langsung contact aku. Bisa via Twitter di @nickoisniken . Mau minta draft teks pemberkatannya juga boleh. Dengan senang hati aku akan berbagi... :)

Kali ini aku akan nulis tentang pernikahan. Aku memang belum cukup pantas untuk bicara tentang pernikahan. Ngrasa masih 'bocah' banget kalo bahas soal pernikahan, secara, nikah aja belom genep 3 bulan.hehe..

Aku pernah membaca, untuk memasuki dunia pernikahan itu 'hanya' perlu kemantapan. Membangun masa depan, bukanlah suatu hal yang memerlukan keahlian yang biasanya dilatih ketika berpacaran. Sebagian orang pasti punya pandangan, kalo sudah lama berpacaran, maka akan langgeng hidup rukun sampai pernikahan. Tapi ada juga orang yang berpendapat, yang pacaran lama aja belum tentu hidup rukun adem ayem,apalagi yang pacaran kilat? Buatku, relationship maupun pernikahan bukanlah suatu hal yang bisa dinilai atau dibanding-bandingkan, apalagi setiap orang punya pengalaman dan sikap yang berbeda-beda. Penikahan adalah suatu keputusan personal 2 orang yang sama-sama mantap untuk hidup bersama, menghabiskan sisa hidup berdua.

Kemantapan adalah hal yang sangat penting. Yang tahu tingkat kemantapan adalah diri kita sendiri. Jangan sekali-kali membohongi diri sendiri tentang kemantapan itu, karena kemantapan itulah yang menjadi dasar, dan akan menentukan hidup kita selanjutnya. Kemantapan itu juga yang menjadi dasar aku dan Dia untuk memutuskan menikah. Kami kenal dan ngobrol hanya dalam hitungan hari. 3 bulan kemudian Dia langsung melamar aku. Dia datang sendiri pada orang tuaku, dan 'nembung' aku. Tanpa kemantapan, tidak akan mungkin saat ini kami menjadi suami istri

Aku belum lama mengenal Dia. Tapi itu tidaklah menjadi alasan untuk tidak menikah dengannya. Proses pengenalan akan berlangsung selamanya. Sejak awal, kami saling mengenali diri kami satu sama lain. Sampai kapanpun, kami akan terus saling mengenal, dan saling memahami. Mengikuti dan memahami setiap perubahan yang ada, karena perubahan adalah suatu hal yang wajar. Namun, juga diperlukan kemauan untuk saling menjaga, agar perubahan itu tidak menyakiti satu sama lain, tapi justru saling menguatkan.

Sikk sik... Aku kok jadi berceramah ya? Sok teu betul kau Nick.. :D
Tapi seriusan, apa yang kutulis di atas, itu aku ga berrmaksud menggurui. Cuma berbagi apa yang ada dipikiranku aja.

Apa perubahan/perbedaan hidupku sebelum dan sesudah menikah?
Tidak banyak yang berubah. Yang jelas nampak terlihat adalah, bisa 24/7 bersama-sama suami. Secara tempat kerjanya sama, dan sekarang udah tinggal bersama. Always together lah pokoknya.
Apakah hidupku jadi terkekang? Enggak. Suamiku adalah orang yang santai sejagad raya. Aku bebas ngapain aja, dan Dia ga pernah menuntutku untuk menjadi rajin.hehe..

Aku bersyukur punya suami yang pengertian, dan humoris. Tidak pernah satu hari pun terlewat tanpa kami saling bercanda, atau saling "membully" yang berakhir dengan tawa. Aku bersyukur punya suami yang selalu berusaha membahagiakanku. Suami yang setiap hal kecil dalam dirinya adalah hal yang pernah kuharapkan dan terucap dalam doaku. Aku bahagia dengan hidupku saat ini. Tuhan sangat baik padaku, memberiku yang terindah ketika aku sudah merasa lelah dan nyaris kehilangan harapan. Tidak ada kata lain yang dapat kuucapkan selain rasa syukur...