Di suatu minggu pagi, aku dan suami berdua mencari sarapan di sebuah angkringan di area Stasiun Lempuyangan. Angkringan ini adalah tempat nongkrong favorit suamiku ketika masih lajang. Dan kini menjadi tempat favorit kami untuk sarapan, atau sekedar ngemil. Kami sering ke tempat ini, meskipun hanya sekedar mampir sarapan sebelum ngantor.Jika punya banyak waktu, ya kami nongkrong sedikit lebih lama untuk menikmati suasana.
Karena hari itu hari Minggu, dan kami tidak ada rencana untuk bepergian, kami meluangkan waktu untuk nongkrong di angkringan yg menjual donat kentang favorit kami. Pagi itu, seperti biasa,di angkringan itu ada beberapa tukang becak, tukang ojek, sopir taksi, dan ada beberapa calon penumpang kereta yang sedang menunggu jadwal keberangkatan kereta -atau mungkin juga nunggu jemputan-. Aku dan suami memilih tempat duduk di dalam angkringan, menghadap ke jalan. Kami duduk di samping tempat pak penjual membuat segala macam minuman.
Sambil menikmati teh hangat, donat kentang, dan makanan kecil khas angkringan, kami bisa melihat orang yang berlalu lalang di area stasiun. Kami juga sesekali tertawa kecil mendengar candaan bapak-bapak tukang becak yang sedang sarapan di sana. Suasana di situ begitu sederhana dan apa adanya. Tawa menggelegar ketika salah satu dari pembeli mengomentari hal aneh dengan celetukan khas yang sedang jadi bahan pembicaraan. Pagi itu terasa menyenangkan untuk bisa mendengar obrolan orang-orang di sana. Obrolan yang tidak memerlukan pengetahuan atau pendidikan tinggi untuk dapat diikuti.
Ketika aku selesai makan capcay 'ndeso' ku, datanglah seorang ibu penjual ketan. Ia berkeliling dengan sepeda tuanya, sambil membawa keranjang kecil yang berisi ketan dan jajanan yang dia jual. Setelah menyandarkan sepedanya di sebuah becak, dia duduk sambil memesan es jeruk, dan mengambil beberapa cemilan di angkringan. Kedatangan ibu itu membuat suasana angkringan menjadi lebih ramai. Ibu itu bercerita tentang kehidupannya yang tidaklah mudah. Suaminya sudah meninggal. Di usianya yang sudah lebih dari setengah abad, dia masih berjuang mencari sesuap nasi, menjual jajanan dengan mengayuh sepeda tuanya. Namun sepanjang dia bercerita, dia tidak pernah mengeluh. Aku melihat, dia selalu mensyukuri apa yang ada di hidupnya.
Beberapa orang yang sedang di area angkringan itu kemudian mengambil beberapa dagangan ibu itu, dan memakannya. Termasuk pak penjual angkringan yang ingin "nglarisi" dagangan ibu itu. Saat itu, ada seorang bapak tukang becak yang rambutnya sudah memutih, yang baru saja selesai makan. Dia berbicara pada pak penjual angkringan, kalau dia mau ngebon dulu untuk apa yang dia makan. Pak penjual angkringan dengan ringannya menjawab "santai saja", sambil hendak mengeluarkan kertas catatan.Dari sudut lain, seorang bapak sopir taksi menyahut, "udah, makan aja, aku yang bayar". Senyum lega memancar dari pak tukang becak, dan pak penjual angkringan urung mengambil kertas catatannya.
Tibalah saatnya ibu itu untuk pergi dan melanjutkan perjalanan. Ibu itu bertanya berapa total harga makanan dan minumannya, dan pak angkringan menjawab "sudah lah, ditukar sama ketanmu tadi saja" (Aku yakin, makanan yang dimakan ibu itu lebih mahal daripada ketan yang diambil oleh pak angkringan). Namun ibu itu tetap membayar uang seadanya, lembaran lusuh yang mungkin adalah hasil jualannya hari itu. Tidak ada perhitungan diantara mereka. Uang itu diambil dan disimpan oleh pak angkringan.
---
Kejadian-kejadian yang kulihat pagi itu sungguh membuatku kagum. Banyak sekali kebaikan dan ketulusan yang kulihat. Mereka, dengan segala keterbatasannya, saling membantu dan berbagi kepada orang lain. Tidak ada perhitungan diantara mereka. Uang bukanlah segalanya, meskipun dalam kegiatan sehari-hari, uang adalah apa yang mereka cari.
Beban hidup tidak menjadi alasan untuk mereka bersedih hati. Mereka masih bisa tertawa, dan berbagi dalam keterbatasan. Mereka masih sehat dalam usia yang tidak lagi muda. Tidak seperti orang kebanyakan, yang bahkan di usia 40an sudah sakit darah tinggi karena terlalu stress dengan beban hidup.
Beban hidup tidak menjadi alasan untuk mereka bersedih hati. Mereka masih bisa tertawa, dan berbagi dalam keterbatasan. Mereka masih sehat dalam usia yang tidak lagi muda. Tidak seperti orang kebanyakan, yang bahkan di usia 40an sudah sakit darah tinggi karena terlalu stress dengan beban hidup.
Mereka bersosialisasi tanpa memandang pendidikan atau kemampuan satu sama lain. Tidak ada satu pun dari mereka yang berusaha menunjukkan kepandaian mereka. Obrolan pun berlangsung dengan begitu cair, tanpa perlu berpikir. Mungkin itulah yang membuat suasanya begitu nyaman, karena tidak ada yang berusaha untuk terlihat 'lebih'.
Suasana seperti inilah yang aku dan suamiku nikmati. Melihat semangat, ketulusan dan rasa syukur yang terpancar dari mereka, dalam segala keterbatasannya. Hal-hal seperti ini yang selalu mengingatkan kami untuk selalu bersyukur, dan untuk terus berbagi. Belajar tentang kehidupan dari orang-orang tangguh ini. Memaknai hidup dengan penuh rasa syukur, dan selalu berbagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar