Kamis, 10 Desember 2015

Menunggu dan Kesabaran

Menunggu adalah suatu keadaan yang selalu dikaitkan dengan kesabaran. Orang yang mau menunggu,biasanya adalah orang yang dinilai sabar. Sebenarnya ada satu hal lain yang berkaitan dengan menunggu. Hal itu adalah kepastian. Kepastian akan menentukan tingkat kesabaran seseorang dalam menunggu. Juga akan mengurangi frustasi,sehingga menunggu tidak menjadi suatu beban berat.
Contohnya menunggu waktu penerbangan pesawat yang di delay:
Jika maskapai tidak memberi tahu waktu yang pasti berapa lama penerbangannya di-delay,maka para penumpang akan menunggu dengan frustasi, karena menunggu dalam ketidakpastian.
Jika maskapai memberi tahu bahwa penerbangan di-delay katakanlah selama satu jam,maka para penumpang akan mengatur diri untuk bersabar selama satu jam. Jika dalam satu jam para penumpang sudah bisa terbang,maka tidak ada masalah. Jika setelah satu jam,maskapai mengumumkan penerbangan akan diperpanjang waktu delay-nya selama 1jam lagi, maka akan ada beberapa macam respon penumpang. Ada yang kembali bersabar,ada yang marah2 dan menunggu dengan frustasi.
Jika delay terus menerus diperpanjang,hampir bisa dipastikan kesabaran semua penumpang akan menipis. Ada yang marah2, ada yang membatalkan tiket,ada yang pindah ke maskapai lain. Meskipun mungkin akan ada penumpang yang tetap menunggu juga,walaupun seperti diberi harapan palsu terus menerus.
Intinya, kepastian yang diberikan akan menentukan tingkat kesabaran seseorang dalam menunggu. Menunggu bukan melulu tentang seberapa sabar seseorang. Tapi juga tentang seberapa besar kepastian yang diberikan.
Menunggu dalam ketidakpastian itu sungguh berat. Menunggu dengan frustasi karena waktu yang tidak pasti. Menunggu tanpa pernah tahu sampai kapan harus menunggu. Seperti berjalan dalam gelap,tanpa cahaya,tanpa pegangan. Tapi jika berhenti menunggu,maka akan dinilai tidak bisa sabar. Serba salah,dan serba menyakitkan.

Sabtu, 28 November 2015

The Sweet Little Things He Does

He always rub my back everytime i finish my meals.

He always hold my hand,like he won't ever let me go. The sweetest one is when i'm going to sleep in our wayback to Jogja from Solo,he hold my hand while driving. And I still have his hand on mine when I woke up.. :)

He always make sure i'm home safely. He through more than 50km ride his vespa everyday after his terrible working hour.

He always yelling "bojokuuu", and gives me my favourite smile everytime we meet.

He stares me with his bright eyes and wide smile when I eat alot. He likes it. And I like his smile.

A bouquet of white rose every week. Not about the flower,but how he choose the best roses for me. A bouquet of flawless white roses :)

The best of all, he always smiling. His smile is the cure of everything for me. When I mad or tired,seeing his smile,it ease me. Even when I mad at him.

I'm blessed to have him in my life. My Putra, my soulmate, my best friend, my partner, my teacher, my brother, and my lover at once.





Rabu, 07 Oktober 2015

Jogja

Hari ini hari ulang tahun Jogja. Pertama-tama kuucapkan dulu, selamat ulang tahun Jogja. :)

Meskipun aku bukan penduduk kota Jogja, tapi aku senang bisa menjadi bagian dari provinsi Jogja. Setidaknya di KTP-ku masih ada kata Yogyakarta-nya. Dan ketika ada orang bertanya daerah asalku, aku bisa bilang bahwa aku asli Jogja. :p

Jogja menjadi tempatku bertumbuh. Aku menghabiskan 21 tahun pertamaku di Jogja. Setelah itu aku pergi merantau, mencari pengalaman di kota orang. 2 Tahun aku tinggal di Jakarta, bekerja di sana, hidup di sana. Sebenarnya aku merasa betah di sana. Meskipun kerinduan pada suasana Jogja selalu mengusikku untuk selalu kembali. Tapi, aku merasa Jakarta juga tempat yang menyenangkan. Ada hal-hal positif yang bisa kurasakan, diantara keruwetan yang sering orang-orang keluhkan. Bahkan aku sempat berpikir, bahwa aku akan terus bekerja di Jakarta saja.

Kerinduan akan Jogja membuatku pulang, di bulan Juni 2014. Ketika itu, kebetulan katanya aku juga diperlukan untuk stay di Jogja sekitar bulan Agustus, katanya (ini perlu di bold dan underlined :p). Maka ketika itu kuputuskan untuk pulang di bulan Juni. Rencananya, bulan Oktober akan kembali mencari pekerjaan di Jakarta. Aku perlu di stay di Jogja. Rencananya, ketika sudah tidak diperlukan lagi, aku akan kembali ke Jakarta. Jadi aku bisa istirahat sekitar 4 bulan lah. Rencananya begitu.

Sebulan tinggal di Jogja, aku ditawari untuk magang di sebuah perusahaan game di Jogja. Perusahaan itu butuh tenaga magang di bagian Finance selama 2 bulan. Dengan pertimbangan mengisi waktu, aku terima saja tawaran itu. Dan aku pun bekerja di sana. Ternyata bekerja di Jogja itu menyenangkan. Jauh dari sakit2an, gak kayak waktu di Jakarta. Stress-less dan banyak tempat nyaman yang bisa bikin rileks. Dan kebetulan, yang katanya aku diperlukan di bulan Agustus itu tak kunjung terlaksana. Dan ketika itu aku tidak tahu, harus berapa lama lagi aku tinggal di Jogja. Tapi itu nggak masalah, dan aku malah berpikir untuk cari kerja di Jogja saja.

Selepas dari magang 2 bulan, aku rehat sejenak. Akhir tahun 2014, aku mencoba untuk cari kerja. Singkat cerita, aku mendapat pekerjaan di sebuah rumah sakit yang rencananya akan dibuka di tahun 2015. Rencananya aku akan mulai bekerja di awal Februari. Nice, masih ada waktu buat istirahat. :)

Awal Januari, aku mendapat panggilan dari perusahaan tempatku magang. Aku dibujuk-bujuk untuk mengisi posisi accounting staff di sana (setengah dipaksa sebenernya :D). Aku menerima tawaran itu. Aku bekerja di tempat itu lagi. Kantor yang memperbolehkan karyawannya bekerja dengan memakai kaos, celana pendek, jins, bahkan sendal jepit. Kantor yang tidak formal sama sekali. Dan lokasinya tidak terlalu jauh dari rumah. Setidaknya tidak sejauh rumah sakit itu.

Empat bulan kemudian, hidupku benar-benar berubah. Aku menemukan kenyamanan tinggal di Jogja. Aku menemukan cinta di hidupku. Hidupku rasanya jadi lebih terang, karena aku jadi tahu kemana aku berjalan. Aku merasakan bahwa ternyata hidupku ini berguna untuk orang lain. Aku merasa aku dibutuhkan, bukan sekedar diinginkan. Aku juga mendapat ketenangan dalam hidup ini, karena hidup dalam suatu hubungan yang terbuka dan hangat. Dan sekarang ini, aku sudah memiliki Dia yang kuinginkan untuk menjalani hidupku dengannya. Tahun ini menjadi tahun berkat buatku. Apa yang kurasakan dan kumiliki saat ini, rasanya sungguh-sungguh di luar dugaan, dan semua terjadi dengan begitu indahnya.

Jogja. Semua ini terjadi dan kualami di Jogja.
Terima kasih untuk segalanya...
Jika aku tidak pulang ke Jogja, mungkin aku tidak akan bertemu dengan Dia.
Jika aku terlambat pulang ke Jogja, mungkin aku tidak akan bertemu dengan Dia.
Jika aku tidak dibuat menunggu di Jogja, mungkin aku tidak akan bertemu dengan Dia.
Jika Jogja tidak senyaman ini, mungkin aku tidak akan bertemu dengan Dia.

Jogja, terima kasih sudah mempertemukanku dengan Dia. Terima kasih telah menjadi tempat yang nyaman. Terima kasih telah menjadi tempat dimana kami melukiskan segala harapan. Aku bersyukur bisa kembali ke Jogja, tinggal di Jogja, menjadi bagian dari Jogja. Semoga Jogja selalu menjadi tempat yang nyaman. :)

Senin, 21 September 2015

1 dari 365

Setiap orang pasti pernah mengalami "Bad Day". Hari dimana seharian selalu merasa sial, tidak beruntung, sedih, ataupun mengalami kejadian yang mengacaukan emosi sepanjang hari. Kadang, kalo terlalu bawa perasaan dan sulit move on, bad day akan berlanjut ke hari-hari berikutnya. Lalu mengeluh. Mengumpat. Marah-marah. Atau bahkan menangisi hidup yang terasa begitu berat.

Mau tidak mau, suka tidak suka, kejadian buruk akan dialami oleh setiap manusia. Tapi satu hal buruk apakah lantas boleh mengacaukan waktu sepanjang hari? Setiap mengalami kejadian buruk, ada baiknya kita mencoba untuk membuatnya menjadi lebih baik. Misalnya bersyukur akan hal-hal kecil yang kita dapat. Tidak ada yang bisa disyukuri? Cobalah bersyukur karena kita bernafas. Seperti salah satu quote favoritku, dari Sidharta Gautama "Mari kita bangkit dan bersyukur , walau kita tidak belajar banyak hari ini, setidaknya kita belajar sedikit , jika tidak belajar sedikit, setidaknya kita tidak sakit, dan jika ternyata kita sakit, setidaknya kita tidak mati, karena itu marilah kita semua bersyukur." Dalam hidup ini, pasti selalu ada hal yang bisa kita syukuri.

Jika bersyukur terasa jadi begitu sulit, pagi ini aku menemukan cara lain untuk bersyukur. Jika kita mengalami 1 hari buruk, tak apalah, masih ada 364 hari yang lebih baik dalam setahun. Jika mengalami 2 hari buruk, maka kita masih punya 363 hari lain yang lebih baik. Begitu seterusnya. Setidaknya hari buruk yang dialami akan terasa sedikit dibandingkan dengan hari-hari yang telah (dan akan) kita lalui. Pun kita mengalami hari-hari berat yang berturut-turut, katakanlah dalam sebulan kita mengalami hari yang buruk, kita masih saja memiliki 335 hari lain. Masih banyak kan?

1 dari 365 adalah jumlah yang kecil, cuma 0,3%. 30 dari 365 pun juga bukanlah hal yang besar, hanya 8,2%. Coba saja bayangkan angkanya. Apakah pantas kita mengeluhkan 0,3% dari waktu kita selama setahun, sedangkan kita sudah mengalami hal baik dalam 99,7% dari waktu yang kita miliki? Atau jika 0,3% terlalu kecil, apakah kita akan mengeluhkan 8,2% dari waktu kita dalam setahun, ketika kita mengalami 91,8% hari baik dalam setahun? jika iya, terdengar serakah ya...

Teorinya sih sepertinya gampang. Menjalaninya yang mungkin sulit. Hari buruk bukanlah hal yang bisa kita hindari. Tapi menyikapinya dengan cara yang baik, akan membuatnya menjadi baik juga. Setidaknya bisa mengurangi hal buruk yang telah kita alami. Bersyukur, bersyukur, dan bersyukur. Itulah obat yang paling ampuh untuk mengurangi segala bentuk sakit hati dan kesesakan hidup.

Heeuuu, udah kayak om mario teguh aja ya tulisanku. Seolah-olah hidup itu mudah untuk dilalui. Hidup memang sulit, maka janganlah dibikin lebih sulit lagi. Permudahlah apa yang bisa dibuat menjadi mudah. Jika kita bisa mempermudah hidup kita, lalu permudahlah hidup orang-orang di sekitar kita, orang yang kita sayangi. Jangan buat hari orang menjadi buruk. Apalagi orang-orang yang kita sayangi.

Selasa, 15 September 2015

La Vie En Rose

Hold me close and hold me fast
The magic spell you cast
This is la vie en rose
When you kiss me heaven sighs
And though I close my eyes
I see la vie en rose
When you press me to your heart
I'm in a world apart
A world where roses bloom
And when you speak
Angels sing from above
Everyday words seems
To turn into love song
Give your heart and soul to me
And life will always be la vie en rose

...

I miss you...

Selasa, 08 September 2015

tulisan ini ada karena yg nulis lagi ga bisa tidur

malam ini lagi agak melow -pms strike maybe-. mumpung laptop udah sembuh, yuk mari ngeblog tengah malam lagi.. jadi berasa kayak jaman kuliah dulu, jam segini masih melek aja cuma buat tak tik tuk nulis-nulis ga jelas... :D
langsung aja deh, here we go, niken yg lg galooo

mencukupkan diri memang bukanlah hal yang mudah. keinginan selalu muncul setiap saat, meskipun apa yang kita butuhkan sudahlah kita miliki. ingin lebih dan lebih, tanpa sadar bahwa apa yang telah kita punyai sudahlah lebih dari apa yang diinginkan. kadang, rasa ingin yang berlebihan membuat kita lupa bahwa apa yang kita miliki sebenarnya sudah lebih dari cukup. lebih dari apa yang pernah kita minta.

lagi, aku merefleksikannya dalam wujud keseimbangan. saat ini aku membayangkan, hidup itu seperti sedang berjalan di atas sebatang kayu, sambil membawa galah sebagai penyeimbang. galah itu harus diletakkan dalam posisi sama panjang di kanan dan kiri, agar kita dapat berjalan dengan seimbang. jika terlalu panjang ke kanan, maka kita akan berjalan oleng. jika kita selalu mendapat yang baik-baik, dan meminta yang lebih baik lagi, maka langkah kita akan oleng. jika kita mendapat hal buruk, seharusnya kita bersyukur karena hal itu akan menjadi penyeimbang jalan kita.

aku lupa, bahwa aku telah mendapat hal yang sangat indah. lebih dari yang pernah kuharapkan. mengharapkan lebih dari apa yang telah kumiliki, rasa-rasanya kok aku ini serakah sekali. jika aku meminta lebih, maka apa yang kumiliki akan semakin mendekati sempurna. bukan kesempurnaan itu yang kucari. rasa syukur karena aku telah mendapat cukup banyak, itu yang perlu kulakukan. seperti yang sudah-sudah, aku bersyukur atas segala yang kumiliki dan kurasakan. aku bersyukur atas hidup ini.

wis ah.. sudah cukup melownya.. sudah cukup over thinkingnya... terima saja apa yang ada... penerimaan yang seutuhnya... teorinya sih gampang ya... prakteknya yang suliitttt... tapi, tanpa dicoba, selamanya kesulitan itu akan selalu menjadi kesulitan.... mari kita bersyukur :)

Jumat, 14 Agustus 2015

Karma - Tabur Tuai

Karma itu nyata. Aku percaya itu. Dalam kitab suci pun telah disebutkan bahwa kita akan menuai apa yang telah kita tabur.

Apa yang kita alami atau apa yang kita peroleh saat ini adalah hasil dari apa yang telah kita lakukan atau perbuat di masa lalu. Jika kita mengalami hal buruk, dulu pasti kita pernah melakukan hal buruk. Begitu juga jika kita mendapat hal baik, maka itu adalah buah dari hal baik yang pernah kita lakukan sebelumnya.

Apa yang kita alami saat ini sekaligus menjadi penentu apa yang akan kita peroleh kelak. Saat ini, bisa jadi kita sedang menuai, sekaligus menabur. Apa yang kita lakukan akan kita rasakan  sendiri di kemudian hari.

Aku sangat meyakini hukum alam ini. Hal-hal baik yang terjadi padaku, semuanya kusyukuri. Begitupun hal buruk yang kualami, yang juga merupakan "buah" yang sedang kupetik saat ini.

Penerimaan atas hal buruk yang terjadi padaku, membuatku lebih ringan dalam menjalani hidupku. Itu konsekuensi yang harus aku terima. Jika aku mengeluh, pasti beban yang ada padaku akan terasa jauh lebih berat.

Pada hal baik yang terjadi padaku, hanya satu yang bisa kulakukan, yaitu bersyukur.

Aku sangat yakin bahwa dunia ini adil. Lebih tepatnya, Tuhan itu maha adil. Apapun yang terjadi pada kita merupakan konsekuensi dari tindakan dan keputusan kita di masa lalu. Baik atau buruk, kita harus menerima.

Aku selalu siap menuai apa yang telah kutabur. Aku menyadari segala konsekuensi dari segala keputusan dan tindakanku. Dan aku tidak akan menyesali apapun yang terjadi padaku. Aku selalu mencoba bersyukur atas segala hal yang kudapat, baik atau buruk.

Tentang penyesalan, aku mencoba untuk tak pernah menyesali apapun yang terjadi padaku. Menyesal tidak akan mengubah keadaan. Tapi jika berbicara tentang penyesalan, penyesalan terbesar yang mungkin dialami oleh manusia adalah menyesal karena tidak melakukan sesuatu yang diyakini.

Tentang keyakinan, aku tidak mudah percaya kata-kata orang lain. Aku lebih percaya dengan kata hatiku sendiri. Tak jarang, aku membuat keputusan atas keyakinanku sendiri. Apapun yang dikatakan orang lain, aku lebih percaya pada apa yang kuyakini. Hal yang paling kuhindari di dunia ini adalah membuat keputusan karena percaya dengan kata-kata orang lain, dan mengesampingkan kata hatiku sendiri. Aku menghindari penyesalan yang mungkin akan ditimbulkan. Aku tidak ingin kelak menyalahkan orang lain atas keputusan yang sudah kuambil. Jika aku memutuskan suatu hal karena keyakinanku, maka apapun yang akan kuperoleh suatu saat nanti, adalah bagian dari konsekuensi yang harus kuterima.

Itulah hidup, menuai apa yang telah kita tabur. Setidaknya, itulah inti dari hidup yang selama ini kuyakini.

Kamis, 13 Agustus 2015

Lupa dan Melupakan

Setiap orang pasti pernah lupa akan suatu hal. Entah itu hal kecil atau besar, sering atau jarang, disengaja atau tidak sengaja. Lupa adalah suatu hal yang kadang menjengkelkan, baik bagi orang yang lupa maupun bagi orang lain yang terkena imbasnya. Aku adalah salah satu dari milyaran manusia di bumi ini, yang termasuk dalam kategori pelupa. Biasanya aku gampang lupa akan hal-hal kecil. Kadang suka sewot atau jengkel sendiri kalo udah kelupaan sesuatu. Salah satu cara untuk menghilangkan kejengkelan itu, biasanya aku meyakinkan diri sendiri "ah, nanti juga inget sendiri" :D

Memang, mudah lupa adalah hal jelek dan sering bikin jengkel. Tapi bagiku, mudah lupa bisa menjadi anugerah. Misalnya saja, mudah melupakan hal-hal buruk. Aku bersyukur aku termasuk jadi orang yang mudah melupakan hal buruk. Saat aku mendapat ucapan atau perlakuan yang tidak menyenangkan dari orang lain, memang, aku merasa sakit. Seperti belakangan ini, aku merasa sakit dengan beberapa ucapan dari orang yang kuharapkan tidak berkata2 seperti itu. Aku bisa dengan mudah melupakan kata-kata itu. Dan juga sudah melupakan rasa sakit yang ditimbulkannya. Tiap hari, setiap kali aku bangun tidur, aku selalu bersyukur karena bisa lupa akan hal-hal buruk yang kualami.

Aku selalu belajar untuk hidup di saat ini (present). Melupakan yang sudah berlalu (past), adalah salah satu cara agar kita bisa fokus pada hidup kita saat ini (present). Tenaga dan pikiran kita tidak akan habis sia-sia untuk memikirkan hal-hal yang sudah berlalu. Boleh lah, mengingat yang sudah berlalu, tapi hanya sebatas mengenang saja. Yang bagus-bagus tetap dalam ingatan, yang jelek-jelek dilupakan saja. Maka, aku bersyukur ketika aku bisa mudah lupa akan hal-hal buruk di masa lalu.

Melupakan hal-hal buruk menjadi hal yang penting saat kita memberi maaf. Bagiku, memaafkan tidak akan ada artinya jika tidak melupakan hal buruk itu. Memaafkan itu sepaket dengan melupakan. Kalau kita bilang, kita sudah memaafkan, tapi di lain hari kita mengungkit-ungkit lagi hal itu, berarti kita belum memaafkan. Samaajaboong kan kalo katanya udah memaafkan, tapi di lain waktu kita marah lagi karena belum lupa akan hal buruk yang diperbuat orang lain? Trus orang itu suruh minta maaf lagi gitu? Gitu aja terus sampe capek ati sendiri. Sekali lagi, lupa adalah anugerah.

Buatku, hidup itu terlalu singkat jika dihabiskan untuk mengungkit-ungkit hal buruk yang telah terjadi. Yang lalu biarkan berlalu. Jika kita terjebak dalam ingatan masa lalu, hidup kita tidak akan pernah maju. Kita akan terjebak dalam ingatan buruk yang menghambat kita untuk menjadi lebih baik. Tuhan membuat orang bisa lupa, pasti bukan tanpa alasan. Seperti hal-nya hal-hal negatif yang ada di dunia ini, semuanya ada untuk menyeimbangkan hidup.
Ada hal yang perlu untuk diingat, dan ntuk menyeimbangkannya, ada pula hal yang harus dilupakan. Hidup adalah seni untuk menyeimbangkan. Bukankah untuk dapat berjalan kita perlu keseimbangan?

Pilihan ada di tangan kita, apakah kita akan terjebak dalam ingatan masa lalu yang berlebihan, atau belajar melupakan sebagian darinya agar bisa seimbang, dan kita bisa kembali berjalan, menikmati kehidupan saat ini (present), sambil mempersiapkan diri untuk masa depan (future).
Maka, bersyukurlah jika kita mudah lupa. :)

Life is about balance

Jumat, 07 Agustus 2015

Bersih atau Kotor

Ceritanya, sore tadi aku membersihkan dompet putihku, yang beberapa hari lalu terkena cream neorheumacyl cream, yang membuat dompet dan isi tasku berbau seperti tukang pijet urut. Dengan harapan bau itu bisa hilang, aku mengelap dompet bututku itu dengan tissue basah. Namun whooop, hanya dengan sekali usapan, tissue basah menjadi kotor dekil banget :D. Lalu aku mengingat-ingat kapan terakhir kali aku membersihkannya. Sejauh ingatanku, terakhir kali adalah ketika aku masih bekerja di Jakarta. Dan yak, itu berarti udah lebih dari setahun. :D

Sebagai penyuka putih, wajar jika aku memiliki beberapa benda berwarna putih. Tapi beberapa orang menganggap hal itu tidak wajar. Saat aku membeli benda berwarna putih, pasti orang yang menemaniku membeli akan berkomentar "kok putih sih? kan gampang kotor..." yaaa, kalo akunya udah suka begimana donk?

Kalau aku sudah menyukai sesuatu, aku akan menyukainya tanpa alasan. Jika orang berkata "gampang kotor", bagiku itu bukanlah masalah. Apakah jika benda itu berwarna hitam, artinya tidak gampang kotor? Kotor mah kotor kotor aja. Cuma, memang warna hitam kalau kotor tidak akan terlihat kotor. Tapi bukan berarti hitam itu bersih kan?

Buatku, sederhana aja. Biar kotor, biar terlihat kotor, itu bukanlah masalah. Toh yang terlihat bersih juga belum tentu benar-benar bersih... :)

Happy weekend everyone...

Jumat, 19 Juni 2015

Cinta dan Dia

Jatuh cinta, berjuta rasanya. Begitu kata Titiek Puspa. Dan begitu pula yang kurasakan belakangan ini; bahagia, penuh tawa, penuh seyum, penuh harap, bahkan kadang merasa dunia hanya milik berdua. Tak hanya perasaan bahagia, rasa khawatir, sedih, bahkan tangisan juga pernah muncul sesekali. Begitulah, berjuta rasanya.

Bagi yang melihat orang jatuh cinta, mungkin akan menganggap bahwa cinta bisa membutakan seseorang. Mungkin juga ada beberapa orang yang mengira aku telah dibutakan oleh cinta.
Aku belum lama mengenal Dia. Tapi dalam waktu yang singkat -singkat bagi beberapa orang- aku bisa menyatakan bahwa Dia adalah segalanya bagiku. Bagi orang lain, ini semua terlalu singkat. Kami pernah (hampir) jatuh. Lalu dalam sekejap kami kembali bangkit seperti sedang dimabuk cinta dan jadi orang paling bahagia sedunia.

Banyak orang yang menganggap proses kedekatan kami terlalu cepat. Namun bagi kami proses itu sudah berlangsung cukup lama. Sejak kami masih terpuruk dalam masalah kami masing-masing, semesta sudah mulai berproses untuk mempertemukan kami. Saat kami benar-benar bertemu, kami saling menguatkan dalam sakit dan lelah kami -sakit dan lelah dalam penantian panjang-. Kami saling memberi harapan, dan ya, dalam sekejap kami dekat. Kami merasa tenang dan bahagia saat kami bersama.

Ada kemungkinan bahwa rasa bahagia ini adalah euforia semata, karena kami sama-sama menemukan sosok yang kami cari, kami perlukan, kami inginkan. Mungkin banyak orang yang mengira demikian, Mungkin ada yang meragukan kami. Tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa untuk mematahkan keraguan itu. Kami hanya bisa membuktikannya, dan hanya waktu yang dapat membantu kami.

Aku sudah memikirkannya dengan sungguh-sungguh, merasakan sedalam-dalamnya, bahwa dengan Dia aku mempunyai keyakinan. Dengan dia aku mendapatkan harapan. Dan dengan Dia aku merasakan cinta. Aku bukan sekedar menginginkannya. Aku membutuhkannya.

Dia menunjukkan pada dunia seberapa berartinya aku baginya. Sebagai seorang perempuan yang lemah, aku merasa kuat karena aku merasa dibutuhkan. Dari hari ke hari perasaanku makin kuat. Dari hari ke hari aku ingin Dia bahagia. Dari hari ke hari aku makin tak bisa jauh darinya. Aku bahagia dengan perhatiannya padaku. Aku merasa leluasa dengan ruang yang diberikannya untukku. Semua yang kurasakan ini bertumbuh, makin besar dan makin kuat setiap harinya.

Yang aku tahu, euforia tidaklah bertumbuh. Euforia pelan-pelan akan meredup dan mati dengan sendirinya, seiring berlalunya waktu. Yang kuyakini, ini bukanlah euforia. Ini adalah perasaan yang selalu hidup. Perasaan yang selama ini belum pernah kutemukan maknanya. Perasaan yang aku belum pernah tegas menyatakannya. Perasaan yang akan selalu tumbuh, selalu hidup selama aku masih bernafas. Perasaan yang disebut cinta...
Ya, Aku cinta Dia.


for my beloved Putra Para Dia
Jogja, Juni 2015
-Niken-

Sabtu, 02 Mei 2015

Waktu [II]

Aku merasa, waktu merupakan dimensi yang unik.

Tiga tahun belakangan aku terkungkung dalam kegalauan mengenai waktu. Aku terkurung dalam penantian tanpa kepastian, dan dalam ketidakpastian itu, waktu selalu menjadi hal yang selalu kupertanyakan. Sudah berapa lama aku menunggu? Sampai kapan aku akan menunggu? Kapan penantian ini akan berakhir? Waktu, kenapa kau begitu menyiksaku?

Dalam kurun waktu itu, aku menjalani hariku dengan ketidakpastian, namun masih mencoba berusaha agar aku tetap memiliki harapan. Harapan bahwa apa yang kutunggu memang sedang benar-benar berusaha untuk membuatku berhenti menunggu. Seiring dengan penantian dalam ketidakpastian itu, pelan-pelan waktu mengikis harapan dan keyakinanku. Semakin lama hidup dalam ketidakpastian, aku semakin yakin bahwa selama ini apa yang kutunggu tak akan ada ujungnya. Lalu bagaimana dengan waktu yang sudah kuhabiskan untuk menunggu? Aku tidak dapat mengulang lagi. Perlahan hatiku kebas karena penantian ini.

Terkadang aku mempersalahkan waktu karena aku merasa tersiksa saat ia berlalu. Menghitung tiap hari, tiap minggu, tiap bulan yang berlalu tanpa ada perubahan. Waktu.... kenapa kamu selalu menyeret hatiku? Waktu... Kapan kau berhenti menggores hatiku dengan fakta seberapa lama aku mengunggu, dan ketidakpastian yang selalu kutunggu?

Saat ini, aku merasa waktu sedang "membayar" atas penantianku. Waktu sedang menukar waktu yang sudah kuhabiskan. Aku merasa bahwa waktu sedang mempersiapkan sesuatu yang indah untukku, dan semua itu kudapat dalam waktu yang singkat! Aku memperoleh keyakinan dan kepastian dalam waktu tak lebih dari satu purnama. Bagaimana bisa, aku menghabiskan ratusan purnama untuk menunggu, tapi aku tidak mendapat kepastian dan keyakinan. Sedangkan hanya dengan satu purnama, aku bisa mendapat keyakinan itu?

Kulihat lagi kebelakang, apa yang terjadi dibalik satu purnama sehingga dengan begitu kuatnya bisa membuatku merasa yakin. Ternyata jauh-jauh hari, semesta telah mengatur dan mempersiapkan segala yang kudapat saat ini. Aku merasa waktu sedang memberi kejutan bagiku. Dibalik penantianku, diam-diam waktu sedang menyembunyikan semesta yang mengatur rencana indah untukku, tanpa kuketahui. Hal indah yang terjadi begitu cepat, membuatku merasa waktu sedang berbicara padaku "see, ini yang sedang dipersiapkan untukmu. inilah yang sebenarnya kau tunggu. penantian panjang yang sudah kau lalui, kutukarnya dengan kepastian lain."

Kini, aku merasa bersahabat dengan waktu. Aku menjalani hari-hariku dengan tenang, karena aku kembali punya pegangan: Keyakinan dan Harapan. Dan dalam dalam harapan itu terdapat kepastian. Aku memang masih perlu menunggu. Tapi keyakinan dan harapan membuatku menunggu dalam tenang. Waktu, kuserahkan hidupku padamu. Aku yakin, kamu tidak akan pernah menipu. Dan kini, ada Dia yang bersamaku, menunggu bersamaku, dan melalui waktu ini dengan selalu menemaniku. Dia yang memberikanku keyakinan, harapan, dan cinta. Faith, Hope, Love.

Sabtu, 14 Maret 2015

Jakarta vs Jogja

Aloha 2015!
Nyaris 3 bulan aku tidak menjamah halaman ini. Terlalu banyak hal yang terjadi. Banyak pelajaran yang aku alami. Banyak pengalaman yang kudapat. Juga banyak kesenangan dan ketenangan yang kuterima. So far, tahun ini memiliki permulaan yang penuh syukur bagiku.
Aku fix stay di Jogja. Hal ini merupakan satu rasa syukur terbesarku di awal tahun ini. Di akhir tahun 2014, aku mengalami suatu proses panjang, melelahkan, dan membuatku khawatir dengan berbagai hal. Salah satunya adalah kemungkinan bahwa aku akan ke luar kota (lagi). Sepertinya semesta merasakan kegelisahanku tentang hal ini. Singkat cerita, aku mendapat pekerjaan di Jogja dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari rumah, suasana kerja yang bebas (terutama bebas dalam berpakaian. ini hal yg sangat penting karena aku tidak nyaman dengan gaya formal).

Saat ini sudah dua bulan aku bekerja di kota tercinta. Dari pengalamanku sebelumnya, aku merasakan beberapa perbedaan, terutama dalam hal tekanan. Di Jakarta, pekerjaanku memang tak seberat yang sekarang. Dulu aku bekerja di kantor pusat, yang hanya tinggal minta2 data dari cabang. Aku memiliki pimpinan yang perhatian, dan ada satu tim konsultan yang siap sedia membantu kesulitanku. Sedangkan sekarang, bisa dibilang aku bekerja di kantor cabang. Di saat-saat awal aku bekerja, aku dituntut untuk belajar sendiri. Nyaris tidak ada yang bisa kutanyai. Pun aku bertanya, jawaban yang kudapat hanyalah "lihat aja di sini/situ." Ya, hampir tidak ada yang bisa kutanyai! Dalam hal pekerjaan, Jakarta lebih mudah dijalani, dan Jogja lebih stressful! Dalam hal hidup sehari-hari, Jakarta memberiku tekanan yang berat (kurang aman, bising, biaya hidup yg tinggi). Sedangkan di Jogja, hidup terasa selow tiap hari, karena keramahan dan kenyamanan yang ditawarkannya.
Tapi, badanku memiliki respon yang berbanding terbalik. Dua bulan pertama tinggal di Jakarta, aku harus masuk UGD karena asam lambungku tinggi (ini pertama kalinya aku punya masalah dengan maag!), dan membuat ku muntah2 lalu kekurangan cairan. Diduga karena aku terlalu stress. Polysilane pun sudah jadi “permen” yang wajib ada di tasku. Sedangkan di Jogja, sebulan pertama masuk kerja aku sudah mengalami yang namanya lembur, audit external&internal yg dilakukan bersamaan (the cruelest thing about auditing!), juga "otodidak" tentang semua perkerjaanku. Untuk mengingatnya saja sudah membuat perutku mulas. Tapi, badanku malah justru sehat walafiat! Masuk angin pun tak pernah ku rasakan. Polysilane? Sudah lupa tuh... Hebatnya Jogja, yang mampu meredam segala tekanan yang kualami. One point for Jogja.

My body belong to this city. Sepertinya badanku ini memang sudah cucok banget untuk tinggal di Jogja. Mungkin karena inilah rumahku. Dulu di Jakarta aku tidak bisa sembarangan makan. Aku harus makan sehat. Aku harus benar-benar memperhatikan apa yang aku makan, harus seimbang asupan gizinya. Bahkan untuk makan mi instan pun, aku sampai menjadwalkannya. Tidak boleh makan lebih dari 1 porsi mi instan dalam seminggu. Dan aku ga bisa sembarangan makan pedas, karena asam lambungku bisa ngamuk-ngamuk. Hal itu kulakukan agar aku tidak sakit, secara di Jakarta aku jadi gampang sakit. Tapi di Jogja, apapun yang kumakan tidak pernah mempengaruhi kesehatanku. Badanku bisa menerima makanan apapun. Sehat dan bahagia di Jogja. One more point for Jogja.

Kebutuhan hiburan di Jakarta dan Jogja juga sangat berbeda. Di Jakarta, hal yang bisa menghiburku adalah nonton di bioskop, jalan-jalan di mall, liburan ke Bandung. Kalau mulai bosan, aku selalu nonton film apapun di bioskop. Kalo stress dan butuh "udara segar", satu-satunya tempat yang bisa kujangkau adalah Mall. Jika aku benar-benar butuh udara segar, aku selalu menghabiskan weekend di Bandung. Hiburanku mahal bener cuuyyy! Tapi di Jogja, keliling2 naik motor, dan nongkrong di pinggir kali (Jatiningsih) aja bisa membuatku sangat terhibur. Nonton di bioskop juga tak lagi jadi pilihanku menghabiskan waktu. Masih banyak hal yang mudah dilakukan untuk menikmati waktu-waktuku. So easy, co cozy! Still one point for Jogja.

Sarana transportasi juga menjadi pertimbangan penting untuk menentukan tempat nyaman untuk ditinggali. Di Jakarta, kemana-mana aku harus naik angkot/transjakarta yang berjubel dan antrian yg panjang. Kadang untuk beberapa tujuan, aku hanya bisa naik taksi. Kalau di jogja, semua tempat bisa dijangkau dengan motor. Murah dan praktis. Sebenernya bisa saja aku minta dikirimi motor untuk sarana transportasiku di Jakarta. Tapi, bagiku berkendara di Jakarta itu terlalu menyeramkan. Keamanan dan kenyamanan tetep nambah poinnya Jogja.

Eehmm, semua poin berpihak pada Jogja. Tapi bukan berarti Jakarta tidak memiliki good point. Jakarta menuntutku untuk banyak bergerak. Aku banyak jalan kaki di sana. Jalan kaki jadi kegiatan yang mudah dan biasa dilakukan. Tapi di Jogja, boro-boro bepergian dengan jalan kaki. Cuma pergi ke warung dekat rumah saja aku selalu naik motor. Alhasil sekarang aku jadi ga kuat lagi buat jalan jauh. Gampang ngos-ngosan, ga seperti dulu.

Di Jakarta banyak makanan kemasan enak yang mudah dicari. Juga bisa dengan mudah menemukan tempat makan yang menyediakan menu babi. Semacam pork heaven lah. Di Jogja, kita perlu ekstra upaya untuk mendapatkannya.

Di Jakarta kita tak perlu terlalu ramah/banyak basa-basi. Aku merasa bisa cuek dan bebas melakukan apapun di Jakarta. Not really a good point sih. Tapi "cuek" bisa memberikan suatu kenyamanan tersendiri buatku.

Mau ngulas apa lagi ya? Pikiranku udah mulai stuck.

Pada intinya, aku sangat menikmati hidupku di Jogja. Semua yang pernah kualami, hal buruk dan hal baik, semua aku syukuri, karena hal-hal itulah yang membawaku menjadi seperti ini. Membuatku bisa lebih banyak bersyukur.
Aku mengalami kesedihan. Aku juga mengalami kebahagiaan. Aku sangat bersyukur untuk semua yang telah kualami. Tanpa pengalaman-pengalaman itu, aku tidak akan pernah bisa merasakan hal seperti ini, perasaan penuh syukur.

"Bersedihlah seperlunya, berbahagialah secukupnya, dan bersyukurlah sebanyak-banyaknya"

Malam ini, aku bersyukur karena aku tinggal di rumah, tinggal di Jogja!